Thursday, January 12, 2017

"Jika Perempuan, Bayi di Rahim Ini Harus Digugurkan ..."

Rabu, 11 Januari 2017
 
KAREN MINASYAN/AFP Garik Hayrapetyan, perwakilan lembaga PBB Population Fund (UNFPA) untuk Armenia berbicara dalam wawancara dengan AFP di Yerevan, 28 Disember 2016 lalu.
YEREVAN - Wajah perempuan hamil itu terlihat pucat. Suaranya pun terdengar tercekat. Beban berat tergambar jelas di wajahnya.
Ani Kirakosyan harus menjalani pemeriksaan ultrasonografi demi mengetahui jenis kelamin janin yang berkembang di rahimnya.

Ketakutan ibu dua anak berusia 27 tahun yang tinggal di Ibu Kota Armenia, Yerevan itu bukan tanpa alasan. 
"Jika perempuan, bayi di rahim ini harus digugurkan," kata dia.
Di negara bekas wilayah Uni Soviet itu, keluarga secara tradisional sangat mendambakan anak laki-laki.

Dampaknya, wanita kerap mengalami tekanan, hingga harus melakukan aborsi jika bayi yang mereka kandung adalah perempuan. 
"Sanak keluarga datang menghibur ketika dulu saya melahirkan akan pertama perempuan,": ujar Kirakosyan lirih. 

"Lalu, ketika anak kedua juga perempuan, mertua saya bilang, 'tidak boleh lagi ada anak perempuan'," kata Kirakosyan lagi.
"Saya harus memastikan bahwa saya bisa memberikan bayi laki-laki untuk suami," sambungnya. 

Berdasarkan data yang dirilis AFP, negara dengan populasi tiga juta orang tersebut menduduki posisi ketiga di dunia untuk angka aborsi janin perempuan. 
Angka itu meningkat tajam setelah Armenia melepaskan diri dari Uni Soviet.
Lembaga PBB untuk persoalan populasi di dunia (UNFPA) mencatat, aborsi seks-diskriminatif menjadi lebih umum kepada anak kedua dan berikutnya. 

Angka itu mencapai sekitar 1.400 janin perempuan yang digugurkan.
"Dalam 10-20 tahun, kita akan mengalami kekurangan perempuan, yang dikombinasi dengan kondisi penurunan tingkat kesuburan. Hal itu akan menimbulkan krisis demografi." 

Demikian dipaparkan Garik Hayrapetyan, perwakilan UNFPA untuk Armenia dalam wawancara dengan kantor berita AFP.
"Di tahun 2060, sekitar 100.000 ibu potensial tak lahir di Armenia, dan negara ini akan menjadi masyarakat lelaki lajang," sebutnya. 

Armenia berada di bawah China dan Azerbaijan untuk potensi krisis tersebut.
Baru setahun lalu, Pemerintah China mencabut kebijakan pembatasan satu anak bagi warganya.

Sementara, di negara tetangga Armenia, Azerbaijan, tercatat 53 persen bayi yang dilahirkan pada kuarter pertama 2016 adalah laki-laki.
Banyak pengamat mengaitkan fenomena aborsi bayi perempuan di Armenia dan Azerbaijan dengan catatan kekerasan yang terjadi di sejak tahun 1994 di wilayah Nagorno Karabakh itu.

Kondisi itu mamaksa warga untuk mengamankan diri dan berhasrat memiliki keturunan laki-laki agar bisa mempertahankan diri. 
Sementara, UNFPA menyebut fenomena di Armenia itu dipicu budaya patriarki dan tren keluarga kecil.

Hal itu lantas didukung dengan kemajuan teknologi untuk mendeteksi kelamin bayi dan kemudahan fasilitas untuk aborsi.
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam keluarga dan organisasi sosial.
Ancaman aborsi ilegal

Aborsi menjadi bagian utama dalam perencanaan keluarga di Armenia, bahkan sejak masa Uni Soviet.
Pemerintah kala itu menyediakan layanan aborsi cuma-cuma bagi warga, di bawah naungan Departemen Kesehatan. 

Sejak pertengahan tahun 2016, parlemen Armenia membuat regulasi yang bertujuan untuk mematikan tren aborsi tersebut.
Langkah-langkah baru diterapkan, termasuk kewajiban dokter untuk menanyakan alasan aborsi. Jika karena pertimbangan gender maka dokter wajib menolak permintaan aborsi itu.

Undang-undang baru itu pun menggariskan bahwa aborsi tak dapat dilakukan untuk janin yang sudah berusia lebih dari 12 minggu. Kecuali, atas pertimbangan kesehatan, korban perkosaan, atau status orangtua tunggal.
Namun, inisiatif itu tak disambut baik oleh para pejuang hak perempuan di Armenia.

Mereka menilai, inisiatif itu tak akan berdampak baik, dan hanya akan memicu munculnya praktik aborsi ilegal.
Praktik itu diyakini justru mengancam kesehatan, bahkan nyawa kaum perempuan.

"Jika kita melarang aborsi, akan ada banyak solusi aborsi ilegal yang berdampak pada melonjaknya angka kematian ibu," kata Anush Poghosyan, pegiat lembaga perempuan Armenia.
"Kita harus menggali akar permasalahannya, yakni mental patriaki dan kemiskinan yang merebak, jadi bukan itu konsekuensinya," kata dia.

Menurut dia, jika perempuan dapat memperoleh kesamaan hak seperti laki-laki, termasuk dalam aspek ekonomi, maka tak ada calon orangtua yang cemas jika memiliki bayi perempuan. 
 Sumber: KOMPAS.com

No comments:

Post a Comment