Monday, April 27, 2015

Kisah Horor Fotografer Yang Membuat liputan Imigran di Laut Tengah

  27 April 2015 

 
Juan Medina/Reuters. Juan Medina memenangi penghargaan pers dunia berkat fotonya tentang imigran di Laut Mediteranian, 2004 lalu.

Melalui foto-fotonya, Juan Medina telah melaporkan kepada dunia mengenai kisah para imigran gelap yang mencuba menjangkau Eropah  selama dua dekade terakhir. Setelah insiden yang meenyebabkan kematian   ratusan imigran  dekat Pulau Lampedusa, pada pertengahan April lalu, fotografer pemenang World Press itu memnceritakan pengalamannya.

"Saya mulai mengabadikan foto-foto imigran kerana saya bermukim di Fuerteventura di Kepulauan Canary. Di sana saya bekerja sebagai fotografer untuk surat khabar setempat.

Pada 2004, para imigran berdatangan dari kawasan sub-Sahara Afrika. Apa yang terjadi tiada bedanya dengan apa yang telah dan akan terjadi.

 
Juan Medina/BBC Sepanjang tahun 2015 yang belum berjalan sampai empat bulan ini saja, diperkirakan 900 pelarian terbunuh ketika berusaha   menyeberangi Laut Mediteranian.
Perjalanan melintasi Laut Mediteranian ditempuh ramai orang demi kehidupan yang lebih baik. Sewaktu-waktu kapal boleh terbalik, kehabisan bahan bakar, injin boleh mengalami kerosakan kerana rentan dengan cuaca dingin.


Pada suatu hari, para imigran memenuhi sebuah kapal kecil atau disebut patera. Mereka telah berada di situ selama berjam-jam.

Apabila mereka mencapai Kepulauan Canary, peronda perbatasan menunggu untuk menangkap mereka. Para imigran mulai menuju kapal yang lebih besar. Namun, selagi mereka bergerak, kapal mereka terbalik.

Seramai 29 orang dapat diselamatkan, sedangkan 9 orang meninggal.

Semua penumpang adalah laki-laki. Kebanyakan datang dari Mali, sebahagian dari Pantai Gading, dan sebahagian lain dari Ghana.

Saya tahu apa yang menimpa dua penumpang kapal itu, Isa dan Ibrahim. Saya bertemu dengan mereka ketika mereka diselamatkan. Mereka saya abadikan dalam foto ketika diangkat dari laut.

Mereka dikirim ke Sepanyol. Isa ke Valencia, Ibrahim ke Murcia.

Mereka menjelaskan apa yang terjadi di kampung halaman mereka di Mali. Mereka berasal dari keluarga besar. Isa, misalnya, bergantung pada hasil tanaman setiap tahun. Pekerjaan jarang ada. Mereka tidak punya kesempatan.

 
Juan Medina/Reuters. Di perbatasan Eropah, keberadaan polis  makin ramai. Namun, orang-orang masih meninggal.
Meski ada begitu banyak resiko, mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan. Bagi mereka, itulah satu-satunya jalan keluar. Mereka berfikir perjalanan ke Eropah patut dicuba untuk membantu keluarga. Mungkin mereka tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada mereka saat demi saat, tetapi mereka faham itu berbahaya.


Saya pergi ke rumah mereka di Mali untuk bertemu dengan keluarga mereka. Saya disambut dengan tangan terbuka, dengan penuh kecintaan   , kebalikan dengan bagaimana cara orang Sepanyol menyambut para imigran.

Keluarga mereka menceritakan kisah mereka sehingga saya faham mengapa Isa dan Ibrahim mempertaruhkan nyawa ke Eropah.
 
  Hal utama yang mengejutkan saya ialah kondisi hidup di kampung halaman mereka. Mereka boleh meninggal di laut, tetapi mereka menghadapi tekanan yang lebih besar sekiranya bertahan hidup di kampung halaman. Mereka melakukannya kerana tiada jalan lain, bukan kerana mereka mencari petualangan.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, orang-orang bertolak ke gerbang Eropah, seperti halnya yang para budak alami pada abad ke-17.

Sebahagian besar tenggelam di laut, terjebak di kapal rapuh yang rawan.

Setelah 20 tahun melaporkan berita mengenai imigran yang mencuba ke Eropah, orang-orang masih tenggelam setiap minggu tiada yang berubah.

Kalaupun ada perubahan, itu adalah perubahan yang memburuk. Setiap ada tragedi kapal tenggelam rasanya lebih menyakitkan kerana ramai kehilangan nyawa.

Di perbatasan Eropah, keberadaan polis  makin banyak. 
Editor : Egidius Patnistik
Sumber: BBC Indonesia/KOMPAS.com

No comments:

Post a Comment