Friday, January 20, 2017

Gambia, Negera dengan Dua Presiden

20/1/17
 
Handout / SENEGALESE PRESIDENCY / AFP Presiden terpilih Gambia, Adama Barrow  mengangkat sumpah jawatannya di kedutaan besar Gambia di Dakar, Senegal, Khamis (19/1/2017) siang. Situasi politik memanas kerana presiden petahanan Yahya Jammeh enggan menyerahkan kekuasaan meski kalah dalam pemilihan presiden bulan lalu.

DAKAR  - Pasukan negara-negara Afrika Barat, Khamis (19/1/2017), memasuki wilayah Gambia untuk "membantu" presiden terpilih Adama Barrow menduduki kerusi jabatannya.

Pasukan Senegal dan empat negara lainnya menyeberangi perbatasan negera kecil yang digemari pelancung itu.

Barrow yang sejak memenangi pemilihan presiden bulan lalu kini berada di Senegal, kerana presiden petahana Yahya Jammeh enggan mengakui kekalahanya.

Alhasil, Barrow tetap dilantik di kantor kedutaan besar Gambia di Dakar, Senegal dihadiri beberapa puluh orang.

Dengan mengenakan pakaian serba putih, Barrow (51) mengangkat sumpahnya sebagai presiden baru Gambia.

"Ini adalah kemenangan rakyat Gambia. Bendera nasional kami kini berkibar setara dengan negara demokrasi lainya," ujar Barrow kepada mereka yang hadir dalam pelantikannya.

"Ini adalah hari yang tak akan dilupakan warga Gambia selamanya," tambah Barrow.

Tak lama setelah pelantikan, Dewan   PBB langsung menyatakan dukungan terhadap usaha blok kerja sama Afrika Barat (ECOWAS) untuk memaksa Jammeh menyerahkan kekuasaannya.

Meski dalam pernyataannya itu, DK PBB tak secara langsung mendukung sebuah operasi tentera terhadap Gambia.

Masuknya tentera koalisi ECOWAS dan khabar dilantiknya Adama Barrow menjadi presiden disambut gembira rakyat negeri kecil itu.

Mereka turun ke jalanan meluapkan emosi mereka yang tertahan selama hampir dua bulan. Di antara warga yang bergembira terdapat panglima AD Gambia, Ousman Badjie.

Sebelumnya, pada Rabu (18/1/2017), Ousman memutuskan tidak akan memerintahkan para perajuritnya memerangi pasukan ECOWAS.

"Kebebasan akhirnya tiba. Tirani terkubur dan demokrasi dipulihkan," kata Lamin Sanyang, salah seorang pendukung Barrow.

Sejauh ini pemandangan di ibu kota Banjul menepis kekhuatiran munculnya perlawanan dari faksi-faksi yang setia kepada Jammeh.

Jumlah pasukan Gambia yang terlihat di sekitar ibu kota sangat minim dan mereka tak mencegah warga yang merayakan kemenangan.

Adama Barrow, kandidat dari koalisi oposisi, secara mengejutkan mengalahkan Yahya Jammeh yang sudah memerintah negeri bekas jajahan Inggeris itu sejak melakukan kudeta pada 1994.

Barrow yang pernah berprofesiyen sebagai agen real estat itu, meninggalkan Gambia pada 15 Januari dan berlindung di Senegal setelah situasi di negerinya memanas.

Jammeh berusaha untuk menghalangi pelantikan Barrow dengan meminta perintah pengadilan dan minggu ini menyatakan negara dalam kondisi darurat.

Edward Gomez, mantan kuasa hukum Jammeh, kemudian meminta kliennya menyerahkan kekuasaan setelah dia juga lari ke Senegal.

"Dengan rendah hati saya meminta Presiden Jammeh mengakui kekalahan dan biarkan perdamaian berlangsung di Gambia," ujar Gomez.

Di masa-masa kritis, Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz menggelar pertemuan dengan Jammeh di Banjul. Pertemuan itu juga dihadiri Presiden Senegal Macky Sall.

Sejauh ini belum diketahui apakah pemimpin Mauritania itu telah membuat kesepakatan atau menawarkan suaka kepada Jammeh.

Mauritania bukan anggota ECOWAS tetapi dalam masalah ini, negeri gurun tersebut kerap diminta menjadi orang tengah untuk menawarkan kesepakatan dengan Yahya Jammeh.

Belum ada pernyataan resmi dari Jammeh soal penyerahan kekuasaan kepada Barrow, hal ini praktis membuat Gambia menjadi negeri dengan dua presiden.
 Sumber: KOMPAS.com

No comments:

Post a Comment