05 Mei 2018
Terosman, masih bisa tersenyum usai dihukum seumur hidup (Foto: PN Muarabulian)
JAMBI - Masih ingat dengan aksi Sumanto, sang
kanibal asal Purbalingga, Jawa Tengah yang makan mayat dengan cara
mencurinya di kuburan.
Kisah kanibal Indonesia yang terjadi pada tahun 2003 lalu, terjadi di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi pada tahun 2017 lalu.
Dialah Terosman alias Mansur alias Kete Bin Jaman (57) yang diganjar
pidana seumur hidup di Pengadilan Negeri Muarabulian, Kabupaten
Batanghari pada Rabu lalu.
Pasalnya, penduduk Dusun Tabuh Pulut Jorong Tabek, Nagari Tabek,
Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat,
dalam amar putusan Majelis Hakim berpendapat, bahwa terdakwa telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana dan pencurian dalam keadaan memberatkan dan
melanggar Kesatu Primer Pasal 340 KUHP Jo. Kedua Pasal 363 ayat 1 ke- 4
KUHP.
Berbeda dengan Sumanto yang makan mayat mentah-mentah, terdakwa
Mansur justru makan secara tidak lazim. Dia makan alat kelamin
(kemaluan) setelah sebelumnya korban dibunuh dengan cara keji.
Ironisnya, terdakwa melakukan perbuatannya tersebut dilakukan
terhadap majikannya sendiri, yakni Dasrullah, warga Desa Tidarkuranji,
Marosebo Ilir, Kabupaten Batanghari, Jambi pada November tahun lalu.
Tidak itu saja, terdakwa melibatkan anak kandungnya sendiri yang di
bawah umur untuk menyembunyikan mayat korban dan melakukan pencurian
harta benda milik korban.
Menurut Listyo Arif Budiman, Humas PN Muarabulian, akibat perbuatan
terdakwa tergolong sadis dan tidak berprikemanusiaan, dan sudah
merupakan aksi kanibal, Ketua PN Muarabulian Derman P Nababan yang
bertindak sebagai Hakim Ketua, dan Andreas Arman Sitepu, Listyo Arif
Budiman masing-masing sebagai Hakim Anggota, mengganjar terdakwa dengan
pidana seumur hidup.
Dalam aksinya, terdakwa dendam kesumat dengan korban. Alasannya,
selama bekerja selama empat tahun sebagai penjaga dan tukang panen buah
sawit, selama tiga tahun tidak diberi upah kerja oleh korban.
Padahal, sebelumnya korban menyanggupi memberikan upah sebesar Rp2
juta rupiah per bulan. Namun, kenyataannya yang diterima terdakwa hanya
Rp200 ribu per ton buah sawit.
Inilah yang memicu terdakwa merencanakan membunuh korban secara
sadis. Tidak hanya dibacok hingga isi perutnya terburai, terdakwa
kemudian memotong kemaluan korban menggunakan pisau dapur.
Akan tetapi masih tidak berhasil, selanjutnya, terdakwa mengambil
kembali menggunakan golok yang digunakan untuk membacok korban tadi
untuk mengiris kemaluan korban hingga putus.
Entah setan apa yang ada dibenak Mansur, usai alat kemaluan korban
dipotong malah dijadikan menu makannya. "Kemaluan korban tersebut
direbus kemudian dimakan oleh terdakwa dengan menggunakan nasi," tukas
Listiyo.
Usai menyantap kuliner yang ekstrim di rumah korban tersebut,
kemudian terdakwa beristirahat sejenak menikmati perut yang kenyang
makan lauk yang tak ada jualannya di rumah makan.
Dirasa cukup istirahat, terdakwa mendatangi dan membangunkan anaknya berinisial MRF untuk menguburkan mayat korban di di ladang.
Usai melakukan aksi sadis dan kanibal tersebut, tanpa terlihat
berdosa terdakwa masih bekerja seperti biasa memanen di kebun milik
korban.
Namun, seiring waktu berjalan, terdakwa merasa dihantui oleh
ketakutan sebagai kanibal. Akhirnya terdakwa dan anaknya berangkat ke
kampung di Padang, Sumatera Barat dengan membawa sepeda motor milik
korban.
Atas putusan Majelis Hakim tersebut, terdakwa yang mengenakan baju
tahanan terlihat tertunduk lemas dan lesu, serta menyatakan pikir-pikir.
Sebelumnya Vanda Satriadi Pradipta, Jaksa Penuntut Umum memohon
supaya Majelis Hakim menjatuhkan pidana mati bagi terdakwa, tetapi
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan lain.
Meskipun tindakan terdakwa yang menghabisi majikannya tergolong sadis
dan tidak berprikemanusiaan, tegas Listiyo, tujuan pemidanaan bukanlah
semata-mata untuk melakukan pembalasan (retribution), tetapi juga
haruslah mempertimbangkan seluruh aspek yang terkait dengan adanya
tindak pidana itu, yaitu sebagai pembelajaran.
Selain itu, sambungnya, mengasingkan terdakwa dari tengah-tengah
masyarakat sehingga masyarakat termasuk keluarga korban menjadi aman,
maupun sebagai efek jera, bagi terdakwa dan anggota masyarakat lainnya.
No comments:
Post a Comment