Rabu, 16/07/2014
Jakarta - Puluhan ribu anak-anak di Sudan Selatan,
negara di benua Afrika yang baru saja berdiri, terancam kelaparan.
Perang di sana memaksa para petani meninggalkan lahannya, menutup jalur
pasokan makanan dan membuat 1 juta warga mengungsi.

Akibat konflik dalaman yang terus berlanjutan, dan
telah membuat satu juta penduduk pindah, Sudan Selatan bakal
kehilangan 50,000 kanak-kanak kerana kelaparan jika bantuan tak segera
disalurkan.
Pertubuhan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan,
bahawa tanpa adanya pertolongan mendesak, 50,000 anak-anak di sana
terancam mati.
Kucuran bantuan untuk menolong negara ini telah diserukan. Sebesar 1.8 billion dolar diperlukan namun sejauh ini hanya 600 juta dolar yang telah terealisasi.
“Anak saya tak punya makanan untuk dimakan kerana tak ada makanan yang baik untuknya. Saya seorang yang biasanya makan,” kata seorang ibu.
Ketika ditanya makanan apa yang dimakannya sehingga tak layak diberikan kepada si anak, ia terdiam dan lantas mengaku mencari makanan ternakan untuk mendapatkan rumput dan dedaunan.
Organisasi nirlaba “Save The Children” bekerja di desa yang dikuasai pemberontak, yakni Akobo, memberi makan kanak-kanak yang kelaparan dengan nutrisi kaya kalori.
Peter Walsh, Direktur program amal di Sudan Selatan, mengatakan, perang saudara ini telah menyebabkan 4 juta penduduk kekurangan makanan dan 2,5 juta di antaranya adalah kanak-kanak.
“Prediksi yang diterbitkan UNICEF adalah bahawa jika kita tidak bertindak sekarang, dan mendapat dana yang diperlukan, 50,000 anak akan mati akhir tahun ini kerana malnutrisi. Ini benar-benar menakutkan,” ujarnya.
Konflik di negara ini telah menyebabkan satu juta orang meninggalkan rumah mereka. Kebanyakan telah melintasi perbatasan untuk menuju Kenya, Uganda, dan Ethiopia.
Ramai lainnya masih berjalan kaki, mengembara, ke tempat-tempat yang, disebut orang Sudan Selatan, menyerupai Akobo.
Tanah subur di sana telah rosak dan kering. Hujan pun tak turun. Jagung dan tanaman sejenis tebu ditanam, namun tak terlihat akan mengalami masa penuaian.
Daun-daun layu, warnanya memudar, dan tak ada bantuan dari Ibukota Juba kerana Akobo adalah wilayah yang dikuasai pemberontak.
“Situasinya benar-benar berbahaya. Maksud saya, 50,000 anak akan mati pada akhir tahun ini jika sesuatu tak segera dilakukan,” tegas Peter.
Kucuran bantuan untuk menolong negara ini telah diserukan. Sebesar 1.8 billion dolar diperlukan namun sejauh ini hanya 600 juta dolar yang telah terealisasi.
“Anak saya tak punya makanan untuk dimakan kerana tak ada makanan yang baik untuknya. Saya seorang yang biasanya makan,” kata seorang ibu.
Ketika ditanya makanan apa yang dimakannya sehingga tak layak diberikan kepada si anak, ia terdiam dan lantas mengaku mencari makanan ternakan untuk mendapatkan rumput dan dedaunan.
Organisasi nirlaba “Save The Children” bekerja di desa yang dikuasai pemberontak, yakni Akobo, memberi makan kanak-kanak yang kelaparan dengan nutrisi kaya kalori.
Peter Walsh, Direktur program amal di Sudan Selatan, mengatakan, perang saudara ini telah menyebabkan 4 juta penduduk kekurangan makanan dan 2,5 juta di antaranya adalah kanak-kanak.
“Prediksi yang diterbitkan UNICEF adalah bahawa jika kita tidak bertindak sekarang, dan mendapat dana yang diperlukan, 50,000 anak akan mati akhir tahun ini kerana malnutrisi. Ini benar-benar menakutkan,” ujarnya.
Konflik di negara ini telah menyebabkan satu juta orang meninggalkan rumah mereka. Kebanyakan telah melintasi perbatasan untuk menuju Kenya, Uganda, dan Ethiopia.
Ramai lainnya masih berjalan kaki, mengembara, ke tempat-tempat yang, disebut orang Sudan Selatan, menyerupai Akobo.
Tanah subur di sana telah rosak dan kering. Hujan pun tak turun. Jagung dan tanaman sejenis tebu ditanam, namun tak terlihat akan mengalami masa penuaian.
Daun-daun layu, warnanya memudar, dan tak ada bantuan dari Ibukota Juba kerana Akobo adalah wilayah yang dikuasai pemberontak.
“Situasinya benar-benar berbahaya. Maksud saya, 50,000 anak akan mati pada akhir tahun ini jika sesuatu tak segera dilakukan,” tegas Peter.
(nwk/nwk)
sumber:ABC Australia - detikNews/UN News Centre
sumber:ABC Australia - detikNews/UN News Centre

No comments:
Post a Comment