6 Januari 2016
Ilustrasi. (Foto: Whereintheworldislucy)
BICARA soal pelacuran sangat sensitif dan
kontroversial sifatnya, kerana berhubungan erat dengan seks dan wang.
Beberapa negara melegalkan bisnis asusila ini, sementara kebanyakan
negara masih menjadikan hal yang tabu untuk profesyen ini. Meski begitu,
layanan esek-esek terus berkeliaran tak terkawal oleh pemerintah, atau
memang sengaja dibiarkan sebab toh, pemerintahnya belum mampu membuka
lapangan pekerjaan, meningkatkan pendidikan maupun menjangkau serta
memenuhi keperluan hidup rakyatnya.
Kebanyakan perempuan menjalankan pekerjaan ini kerana terpaksa dan
demi wang. Tidak perlu keterampilan maupun kecerdasan intelektual, cukup
pasang badan, pandai merawat diri dan berlagak puas.
Di Uganda, salah satu negara di kawasan Afrika Timur merupakan daerah
yang terkenal akan prostitusinya se-antero Benua Hitam. Pasalnya,
kehidupan prostitusi di Uganda sudah sejak lama menjadi warisan, turun
temurun dari ibu kepada anaknya.
Bisnis seksual terbesar di Uganda, yakni di Entebbe, kota yang pernah
menjadi ibu kota Uganda sebelum Kampala. Generasi pertama prostitusi di
Entebbe dimulai sekira satu dekade yang lalu. Berawal dari kedatangan
pasukan Perancis ke pangkalan militer Entebbe. Kelab malam dibangun dan
menjadi kawasan kekuasaan para tentera. Gadis-gadis muda pun diambil
sebagai jarahan dan pemuas nafsu mereka.
Pada masa itu bayarannya mencapai 50 euro
sekali kencan. Banyak pemudi berusia belasan tahun direkrut bergabung ke
bisnis tercela ini. Mereka kesulitan dalam masalah kewangan, serta
dengan kondisi terjajah dan pendidikannya rendah. Demi membayar hutang
dan memenuhi keperluan hidup keluarganya, mereka akhirnya bersedia
melayani para tentera. Lagipula dengan jalan ini juga mereka memperoleh
kesempatan duduk di bangku sekolah hingga berkuliah.
No comments:
Post a Comment