20/4/17
HANOI – Sekelompok petani menyandera
puluhan pegawai pemerintah dan polis menyusul sengketa tanah pada
Khamis, 20 April. Mereka menutup desa dan memberikan perlawanan terhadap
semua usaha penyelamatan yang coba dilakukan pihak berwenang.
Insiden itu bermula pada Sabtu, 15 April di My Duc, sebuah daerah di pinggiran Kota Hanoi, Vietnam saat pihak berwenang bentrok dengan penduduk desa yang mendakwa tanah mereka telah disita secara ilegal oleh perusahaan telekomunikasi milik militer. Krisis yang terjadi adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah Komunis otoritarian di mana korupsi dan penyerobotan tanah tidak jarang terjadi.
Penduduk lokal menutup desa mereka dengan halangan yang terbuat dari
gelondongan kayu, karung pasir, dan batu bata, melarang orang luar untuk
masuk. Mereka bahkan mengantisipasi kemungkinan dilakukannya usaha
penyelamatan yang dilakukan polis terhadap sandera.
“Kami menuangkan minyak di sekitar rumah komuniti di mana para sandera ditahan. Kami akan bertindak jika polis menyerang kami,” kata seorang petani perempuan sebagaimana dilansir South China Morning Post, Khamis (20/4/2017). Dia menambahkan, para sandera diperlakukan dengan baik dan diberi makan tiga kali sehari.
Total, ada 38 polis dan pegawai lokal yang ditahan penduduk sejak Sabtu minggu lalu. Tiga di antara para sandera berhasil melarikan diri sementara 15 lainnya dilepaskan pada Isnin, 17 April.
“Kami masih menahan 20 orang, termasuk dua pegawai senior lokal,” kata perempuan itu lagi.
Ini bukanlah pertama kalinya penduduk desa di Vietnam mengangkat senjata atas ketidakadilan yang dilakukan negara. Pada 2012, seorang nelayan menggunakan senjata buatan sendiri melawan pengusiran paksa terhadap dirinya.
Dia melukai tujuh orang polisi sebelum ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun. Namun, tindakannya menjadi simbol ketidakpuasan rakyat terhadap hak-hak tanah.
Tidak banyak informasi mengenai kejadian di My Duc dari media lokal. Beberapa artikel mengenai peristiwa ini di media pemerintah segera menghilang setelah dipublikasikan secara online.
Le Luan, pengacara yang bertindak sebagai mediator mengatakan penduduk desa hanya ingin berbicara dengan pihak berwenang. Namun, Le sulit mengetahui apakah ada niat dari otoritas untuk menyelesaikan kasus sengketa ini.
Insiden itu bermula pada Sabtu, 15 April di My Duc, sebuah daerah di pinggiran Kota Hanoi, Vietnam saat pihak berwenang bentrok dengan penduduk desa yang mendakwa tanah mereka telah disita secara ilegal oleh perusahaan telekomunikasi milik militer. Krisis yang terjadi adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah Komunis otoritarian di mana korupsi dan penyerobotan tanah tidak jarang terjadi.
“Kami menuangkan minyak di sekitar rumah komuniti di mana para sandera ditahan. Kami akan bertindak jika polis menyerang kami,” kata seorang petani perempuan sebagaimana dilansir South China Morning Post, Khamis (20/4/2017). Dia menambahkan, para sandera diperlakukan dengan baik dan diberi makan tiga kali sehari.
Total, ada 38 polis dan pegawai lokal yang ditahan penduduk sejak Sabtu minggu lalu. Tiga di antara para sandera berhasil melarikan diri sementara 15 lainnya dilepaskan pada Isnin, 17 April.
“Kami masih menahan 20 orang, termasuk dua pegawai senior lokal,” kata perempuan itu lagi.
Ini bukanlah pertama kalinya penduduk desa di Vietnam mengangkat senjata atas ketidakadilan yang dilakukan negara. Pada 2012, seorang nelayan menggunakan senjata buatan sendiri melawan pengusiran paksa terhadap dirinya.
Dia melukai tujuh orang polisi sebelum ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun. Namun, tindakannya menjadi simbol ketidakpuasan rakyat terhadap hak-hak tanah.
Tidak banyak informasi mengenai kejadian di My Duc dari media lokal. Beberapa artikel mengenai peristiwa ini di media pemerintah segera menghilang setelah dipublikasikan secara online.
Le Luan, pengacara yang bertindak sebagai mediator mengatakan penduduk desa hanya ingin berbicara dengan pihak berwenang. Namun, Le sulit mengetahui apakah ada niat dari otoritas untuk menyelesaikan kasus sengketa ini.
No comments:
Post a Comment