03 November 2017
Pelarian Rohingya terlihat di kem penampungan Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: Cathal McNaughton/Reuters)
NEW YORK - Lebih dari 800 ribu pelarian Rohingya Myanmar diduga hidup dalam situasi yang "sangat sengsara", kata
Komisaris Tinggi PBB bagi Pelarian (UNHCR) Filippo Grandi. Laporan
Grandi disampaikan ke Majlis Keselamatan PBB pada Khamis 2 November waktu New
York, Amerika Syarikat.
Grandi mengeluarkan pernyataan mengenai pelarian Rohingya tersebut, sebagai perbandingan dengan 65 juta hingga 66 juta orang yang dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di dunia. "Kami berbicara mengenai sebahagian krisis paling rumit di Afrika terutama di Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo," kata Grandi kepada wartawan di luar ruang pertemuan Majlis Keselamatan.
"Ada banyak perhatian pada situasi di Bangladesh --pelarian
Rohingya, yang datang dari Myanmar-- dan pergeraan krisis tersebut, yang
barangkali yang paling akut pada ketika ini," katanya.
Dari 800 ribu pelarian, kata para pegawai PBB, 607 ribu menyelamatkan diri dari kerusuhan di Negara Rakhine, Myanmar Utara, sejak 25 Ogos. Saat itu, gerilawan Rohingya melancarkan serangan terhadap pos keselamatan, sehingga memicu pembalasan dari pasukan pemerintah dan penjaga keselamatan awam . Banyak perkampungan dibumi Rakhine dihanguskan dan penduduk kampung menyelamatkan diri setelah kerusuhan mematikan merebak.
Akses ke Negara Rakhine --salah satu yang kurang berkembang di Myanmar-- telah sangat dibatasi, kendati seorang pegawai senior PBB pada Oktober terbang di atas sebahagian wilayah yang mengalami keganasan dan melaporkan ia melihat banyak desa yang terbakar.
"Ada dukungan buat peranan yang boleh dimainkan oleh UNHCR dalam memfasilitasi pembahasan mengenai kepulangan secara sukarela, aman dan bermartabat jika dan ketika keadaan tercipta di Negara Rakhine agar ini boleh terjadi," kata kepada Badan Pelarian PBB tersebut, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumaat (3/11/2017). "Kami berbicara mengenai tumpang-tindih penting dalam agenda kantor ami ... dan agenda Majlis Keselamatan."
Ia menjelaskan karena pengungsi adalah masalah kemanusiaan, semuanya dibahas di dalam UNHCR sebagai "peristiwa non-politis". "Tapi itu adalah masalah yang tumpang-tindih dengan agenda perdamaian dan keamanan Dewan Keamanan. Jadi, penyelesaian masalah pengungsi 'pada dasarnya adalah politik'."
Orang menghadapi masalah tambahan sebab mereka secara hukum tak memiliki negara. Myanmar tidak mengakui kebanyakan orang Muslim tersebut sebagai warga negara, bahkan setelah mereka tinggal selama beberapa dasawarsa di Myanmar, yang kebanyakan warganya adalah pemeluk agama Buddha.
"Anda perlu menangani masalah kewarganegaraan yang sangat rumit," kata Grandi. "Tanpa itu, takkan ada jaminan mereka boleh pulang. Saya tidak tahu apakah kepulangan orang Rohingya dapat terjadi jika masalah ini tak diselesaikan." "Ini --sebagaimana telah sering kami katakan-- bukan cuma pelarian, tapi ini adalah pelarian yang tak memiliki negara," katanya. "Jadi, ini adalah masalah yang rumit."
Grandi mengeluarkan pernyataan mengenai pelarian Rohingya tersebut, sebagai perbandingan dengan 65 juta hingga 66 juta orang yang dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di dunia. "Kami berbicara mengenai sebahagian krisis paling rumit di Afrika terutama di Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo," kata Grandi kepada wartawan di luar ruang pertemuan Majlis Keselamatan.
Dari 800 ribu pelarian, kata para pegawai PBB, 607 ribu menyelamatkan diri dari kerusuhan di Negara Rakhine, Myanmar Utara, sejak 25 Ogos. Saat itu, gerilawan Rohingya melancarkan serangan terhadap pos keselamatan, sehingga memicu pembalasan dari pasukan pemerintah dan penjaga keselamatan awam . Banyak perkampungan dibumi Rakhine dihanguskan dan penduduk kampung menyelamatkan diri setelah kerusuhan mematikan merebak.
Akses ke Negara Rakhine --salah satu yang kurang berkembang di Myanmar-- telah sangat dibatasi, kendati seorang pegawai senior PBB pada Oktober terbang di atas sebahagian wilayah yang mengalami keganasan dan melaporkan ia melihat banyak desa yang terbakar.
"Ada dukungan buat peranan yang boleh dimainkan oleh UNHCR dalam memfasilitasi pembahasan mengenai kepulangan secara sukarela, aman dan bermartabat jika dan ketika keadaan tercipta di Negara Rakhine agar ini boleh terjadi," kata kepada Badan Pelarian PBB tersebut, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumaat (3/11/2017). "Kami berbicara mengenai tumpang-tindih penting dalam agenda kantor ami ... dan agenda Majlis Keselamatan."
Ia menjelaskan karena pengungsi adalah masalah kemanusiaan, semuanya dibahas di dalam UNHCR sebagai "peristiwa non-politis". "Tapi itu adalah masalah yang tumpang-tindih dengan agenda perdamaian dan keamanan Dewan Keamanan. Jadi, penyelesaian masalah pengungsi 'pada dasarnya adalah politik'."
Orang menghadapi masalah tambahan sebab mereka secara hukum tak memiliki negara. Myanmar tidak mengakui kebanyakan orang Muslim tersebut sebagai warga negara, bahkan setelah mereka tinggal selama beberapa dasawarsa di Myanmar, yang kebanyakan warganya adalah pemeluk agama Buddha.
"Anda perlu menangani masalah kewarganegaraan yang sangat rumit," kata Grandi. "Tanpa itu, takkan ada jaminan mereka boleh pulang. Saya tidak tahu apakah kepulangan orang Rohingya dapat terjadi jika masalah ini tak diselesaikan." "Ini --sebagaimana telah sering kami katakan-- bukan cuma pelarian, tapi ini adalah pelarian yang tak memiliki negara," katanya. "Jadi, ini adalah masalah yang rumit."
No comments:
Post a Comment