Sunday, February 4, 2018

Menguak sejarah kekejaman militer Myanmar yang bantai penduduk Rohingya

Sabtu, 3 Februari 2018 
 
Penghapusan etnik Ruhingya yang dikerahkan oleh pasukan militer Myanmar bukan lagi hal baru. Tentara Myanmar memang dikenal sebagai pasukan dengan kekejaman tanpa ampun, dan hal itu telah bertahan sejak 76 tahun lamanya.

Para pendiri militer Myanmar dikenal dengan nama 30 Kamerad membentuk angkatan bersenjata pada 1941 silam di Bangkok. Pada masa itu, para anggota diperintahkan mencampur darah mereka dalam sebuah mangkuk perak dan meminumnya sebagai tanda sumpah setia kepada militer.

Selanjutnya, pasukan tentara itu memimpin negara menuju kemerdekaan pada 1948. Di awal periode damai, pasukan militer Myanmar telah menghabiskan tujuh dekade untuk berperang melawan bangsanya sendiri.

Angkatan Bersenjata yang dikenal dengan nama Tatmadaw itu merebut kekuasan pemerintah sipil Myanmar pada 1962. Mereka juga membunuh ribuan demonstran untuk mempertahankan kekuasaan pada 1988 dan menekan pemberontakan dari gerakan Revolusi Saffron pada 2007 lalu.

Sambil terus mengerahkan serangan terhadap kaum minoritas, Tatmadaw membuat jutaan orang mengungsi dan meraup keuntungan senilai miliaran dolar dari tambang batu giok, hutan jati, dan sumber daya alam lain. Strategi mereka adalah melawan pemberontak etnis, mengelola konflik melalui gencatan senjata, dan memperkaya para anggotanya.

"Mereka tidak pernah mencoba untuk memenangkan hati dan pikiran sasarannya, tetapi mendoktrin dengan cara menekan dan menakut-nakuti sehingga penduduk hanya bisa menyerahkan segalanya. Untuk memuluskan keinginan mereka, hanya sedikit yang tidak mereka lakukan," ujar profesor dari National War Collage di Washington, Zachary Abuza, dikutip dari laman New York Times, pekan lalu.

Meski memiliki reputasi sebagai pelindung rakyat, namun militer Myanmar memiliki sejarah panjang dalam membunuh warga sipil, menyiksa dan mengeksekusi narapidana, melakukan pemerkosaan, mengeksploitasi anak-anak agar menjadi anggota, menjadikan narapidana sebagai kuli hingga membiarkan warga sipil berjalan di atas ranjau darat yang mereka buat.

Setelah berpuluh-puluh tahun menjadikan Myanmar sebagai negara terisolasi, militer mulai melonggarkan cengkramannya pada 2010 lalu sehingga pemilihan umum bisa dilakukan dan secara bertahap memberi posisi kepada warga sipil untuk menjadi pejabat, melayani urusan luar negeri, hingga mengatur kebijakan ekonomi.
Saat itu, Myanmar mulai mendapat akses ke internet dan ponsel mulai bisa dijual secara massal.

Perubahan itu berhasil menghidupkan kembali ekonomi Myanmar dan membuat negara tersebut memperoleh sedikit demokrasi sehingga Amerika Serikat dan Uni Eropa mencabut sanksi ekonomi.
Meski demikian, pasukan militer tetap memegang kendali atas beberapa institusi penting, termasuk kepolisian dan penjaga perbatasan. Selain itu, kekejaman terhadap minoritas pun terus berlanjut.

"Tatmadaw merupakan suatu institusi yang tidak tunduk terhadap apapun. Mereka tidak bisa diatur dan tetap melakukan tindakan kasar terhadap apapun yang dikehendaki," kata seorang analis independen di Yangon, David Mathieson.

Saat ini, pasukan militer Myanmar dipimpin oleh Jendral Min Aung Hlaing. Boleh dibilang, dia merupakan sosok paling berkuasa di Myanmar. Hlaing dianggap memegang peranan kunci di balik kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Rakhine. Sementara Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar, menerima kecaman dari dunia, Hlaing terus-terusan menjalankan taktik brutal terhadap etnis Rohingya.

Seorang penasihat lama Suu Kyi yang telah mengabdi selama 18 tahun kepada militer dan menghabiskan 20 tahun lainnya di penjara, U Win Htein, menyebut bahwa militer tidak pernah menginginkan perdamaian.
aung san suu kyi dalam unjuk rasa menentang militer 1988 AFP

Htein menyebut bahwa pada 2013 lalu, Presiden Thein Sein yang juga mantan jenderal pernah memerintahkan Hlaing untuk menghentikan serangan terhadap kelompok etnis, namun dia tidak pernah menurutinya.

Sebab, dengan berperang mereka bisa mendapatkan pundi-pundi uang dari ekstraksi batu rubi, emas, dan kayu. Kelompok etnis juga menyebut pasukan militer sengaja menguasai lahan untuk agribisnis dan membangun bendungan pembangkit listrik tenaga air yang nantinya bisa dijual ke negara tetangga, China.
"Thein Sein memerintahkan tentara untuk berhenti, tapi mereka tidak berhenti. 

Para tentara bergerak secara independen dan tidak ada yang bisa mempengaruhinya. Mereka tidak akan mendengarkan siapa pun," bebernya
MERDEKA.COM

No comments:

Post a Comment