25 Desember 2014
Daily Mail
Putera Mahkota Kerajaan Thailand, Putera Maha Vajiralongkorn dan Puteri Srirasmi ketika masih harmonis.
TRIBUNNEWS.COM - Sistem Monarkhi (kerajaan) Thailand terancam. Terlebih setelah munculnya pengumuman Puteri Srirasmi, isteri putera mahkota Kerajaan Thailand
Maha Vajiralongkorn, telah melepas status kerajaannya setelah beberapa
kerabatnya ditangkap kerana skandal korupsi. Itu berarti Putera Mahkota
Maha Vajiralongkorn telah menceraikan isterinya, Puteri Srirasmi.
Pengumuman istana itu makin menambah kecemasan dan ketidakpastian di
kalangan publik terhadap masa depan monarki, tidak hanya bagi generasi
sekarang ini, tetapi juga generasi berikutnya. Kegelisahan warga Thailand tersebut diungkap pakar Thailand dari Universiti Osaka, Jepun, Pavin Chachavalpongpun.
Sementara itu, berita soal perceraian dan Puteri Srirasmi melepas status kerajaan itu sangat mengejutkan kalangan elite Thailand.
Kegelisahan rakyat Thailand makin menumpuk, terlebih krisis politik Thailand
belum berakhir. Di level elite dan akar rumput, mereka terbelah sangat
dalam dan sempat berada di tepi jurang perang saudara. Untuk
”menyelesaikan” konflik di antara mereka, junta tentera pun akhirnya
turun tangan, mengambil alih kekuasaan di Thailand pada 22 Mei lalu.
Mantan Ketua Staf Angkatan Darat Thailand
Jenderal Prayuth Chan-ocha menduduki posisi perdana menteri
menggantikan Niwatthamrong Boonsongpaisan, yang sebelumnya juga
menggantikan Yingluck Shinawatra yang dijatuhkan.
Keberadaan Prayuth sebagai Perdana Menteri Thailand mendapat restu Raja Thailand
Bhumibol Adulyadej. Junta tentera tersebut menepis kemungkinan
diadakan pilihanraya sebelum Oktober 2015 dan bertekad membenahi politik Thailand dengan mereformasi semua bidang pemerintahan.
Prayuth juga dikenal sebagai sosok penentang mantan Perdana Menteri
Thaksin Shinawatra yang kini berada di pengasingannya di Dubai, Emirat Arab Bersatu.
Prayuth mengatakan, junta terpaksa mengambil alih pemerintahan kerana
tak ingin kondisi negara semakin terpuruk akibat krisis politik yang
terus berkelanjutan. Kedua kubu, baik kubu pendukung Yingluck (adik
Thaksin) maupun kubu anti pemerintah yang digerakkan Suthep Thaugsubhan,
pemimpin Komite Reformasi Demokratik Rakyat (PDRC), terus bertikai.
Massa demonstran anti pemerintah sempat berdemonstrasi selama lebih dari
enam bulan dan menelan korban 23 jiwa.
Belum bisa mengakhiri
Noel Kasem, warga Thailand,
mengatakan, ketika junta tentera mengambil alih kekuasaan setelah
kekisruhan politik antara pengikut Yingluck dan PDRC itu, semuanya
berjalan menjadi baik. ”Namun, setelah berjalan sekian lama, saya masih
belum melihat bahawa junta benar-benar boleh mengakhiri perpecahan kedua
kubu. Mereka masih seperti menunggu dan melihat situasi,” kata Noel.
Setelah tentera meninggalkan kekuasaan seperti janji mereka, menurut
Noel, kedua kelompok tersebut pasti akan bertarung kembali. Korupsi juga
masih menjadi masalah besar. ”Orang miskin masih tetap miskin. Junta tentera tidak akan dapat melakukan hal yang baik di masa yang sangat
singkat ini. Rasanya seperti tak ada harapan untuk Thailand.
Kebencian antara kelompok pro pemerintah dan anti pemerintah sudah
sangat dalam. Mereka saling membenci satu sama lain. Saya hanya berharap
tak ada pertumpahan darah lagi,” kata Noel.
Untuk menyudahi kekisruhan politik di Thailand
yang telah berjalan cukup lama, Prof Thitinan Pongsudhirak, Direktur
Institut Keamanan dan Kajian Internasional-Fakulti Ilmu Politik
Universiti Chulalongkorn Bangkok, Thailand, mengatakan bahawa Thailand memerlukan ”jalan ketiga”.
Menurut Pongsudhirak, Prayuth hingga saat ini tak terlihat ingin
berbagi kekuasaan dengan pendukung kudeta ataupun dengan pengikut
Thaksin. Warga Thailand
yang semula terbelah menjadi kubu pro Thaksin dan kubu oposisi anti
Thaksin kini terbagi menjadi kelompok ”Dengan Kita atau Melawan Kita
(Junta)”. Ini merupakan karakteristik politik Thailand yang selalu mudah terbelah.
Harus ada jalan ketiga yang mengoperasikan prinsip-prinsip demokrasi,
kekuasaan yang segan melakukan penyalahgunaan dan manipulasi.
Keinginan kuat untuk mendepak kroni Thaksin, seperti Yingluck dan
penggantinya, Boonsongpaisan, bisa memicu perang sipil. Bagi Thaksin,
jalan ketiga artinya harus berhadapan dengan kudeta dan PDRC yang
melawan penyalahgunaan kekuasaan dan politik wang yang dilakukan Thaksin
dan mesin partinya yang mencari kenderaan elektoral agar dapat
memenangi pemilihan umum.
”Rejim di bawah Prayuth dan Dewan Nasional untuk Perdamaian dan
Ketertiban (NCPO) tak terlihat akan membagi kekuasaannya. Jadi, jalan
ketiga sangat diperlukan. Politik Thailand
sepertinya tak ke mana- mana, tetapi siapa pun yang ingin lepas dari
perpecahan harus melakukan kompromi dan ini langkah konkret untuk Thailand,” kata Pongsudhirak.
No comments:
Post a Comment