Tuesday, August 8, 2017

Apabila Seorang Lelaki Mangsa Perkosaan Membuka Mulut..

08/08/2017
Stephen diperkosa di tahun 2011 dalam konflik di Republik Demokratik Kongo
Stephen diperkosa di tahun 2011 dalam konflik di Republik Demokratik Kongo (VIA BBC)
"Jika saya berbicara mengenai hal itu, saya akan dipencilkan dari masyarakat. Bahkan mereka yang merawat saya tidak akan bersalam dengan saya."

 Stephen Kigoma diperkosa dalam konflik di negara asalnya, Republik Demokratik Kongo.
Dia menggambarkan penderitaannya dalam sebuah wawancara dengan wartawan BBC Alice Muthengi, dan menyerukan para penyintas lain untuk melapor.
"Saya sempat menyembunyikan kenyataan bahwa saya adalah seorang laki-laki korban perkosaan. Saya dulu tidak dapat membuka mulut- kerana hal ini tabu," katanya.

"Sebagai seorang lelaki, saya tidak boleh menangis, kerana orang akan mengatakan bahwa kami adalah seorang pengecut, kami lemah, kami bodoh."
Perkosaan itu terjadi ketika    beberapa orang lelaki menyerang rumah Stephen di Beni, sebuah kota di Timur Laut Republik Demokratik Kongo.

"Mereka membunuh ayah saya. Tiga orang memperkosa saya, dan mereka kata: 'Kamu kan laki-laki, jadi bagaimana kamu nanti mengaku bahwa kamu diperkosa?"
"Itu adalah senjata yang mereka gunakan untuk membungkam kami."
Setelah melarikan diri ke Uganda pada tahun 2011, Stephen mendapat pertolongan perubatan.

Namun perawatan itu baru terjadi setelah seorang fisioterapis yang merawatnya untuk masalah punggung menyedari ada sesuatu yang lain pada luka-lukanya.
Ia dibawa ke doktor yang merawat mangsa  kekerasan seksual, dan dia adalah satu-satunya  lelaki di bangsal tersebut.

"Saya merasa diremehkan, saya berada di antah berantah, harus menjelaskan kepada doktor bagaimana hal itu terjadi. Itulah ketakutan saya."
Stephen boleh mendapatkan konseling melalui Projek Hukum Pengungsi, sebuah LSM di Ibu Kota Uganda, Kampala.
Dia   adalah salah seorang dari enam lelaki yang berbicara mengenai penderitaan mereka sebagai korban perkosaan.

Polisi bukan opsi
Refugee Law Project, kelompok yang menyelidiki pemerkosaan laki-laki di Republik Demoktratik Kongo, juga telah menerbitkan sebuah laporan tentang kekerasan seksual di antara pengungsi Sudan Selatan di Uganda utara.
Ditemukan, lebih dari 20 peratus perempuan mengaku telah diperkosa -dibandingkan dengan hanya empat peratus lelaki.

"Penyebab utama mengapa lebih sedikit lelaki melaporkan adalah orang menganggap mereka harus kebal, mereka pasti melawan."
"Kalau ternyata terjadi juga, mereka dianggap membiarkannya dan mereka pasti dicap homoseksual," kata Chris Dolan, Direktur Refugee Law Project kepada program BBC Focus on Africa.

"Tentangan hukum menjadi masalah ketika berbicara mengenai lelaki yang melaporkan kes pemerkosaan," tambahnya.
"Dalam Statuta Roma (yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional) definisi perkosaan cukup luas, untuk mencakup perempuan dan laki-laki."
"Namun dalam kebanyakan undang-undang domestik, definisi perkosaan melibatkan penetrasi vagina oleh kelamin lelaki."

"Berarti jika seorang lelaki melaporkan, mereka akan dibilang bahwa itu bukan perkosaan, itu adalah pelecehan seksual."
"Ada masalah yaitu kriminalisasi aktiviti sesama jenis -ini berkisar pada penetrasi tubuh laki-laki, bukan sekitar persetujuan atau kurangnya persetujuan."

Pada tahun 2016, Uganda menerima lebih banyak pengungsi daripada negara lain di dunia, dan dipuji kerana memiliki sejumlah kebijakan paling ramah di dunia terhadap mereka.
Tetapi, untuk korban perkosaan lelaki seperti Stephen, kehidupan di sana dapat menjadi sukar.

Homoseksualiti merupakan hal ilegal di Uganda, dan pergi kepada polis  untuk melaporkan perkosaan tidak selalu menjadi pilihan terbaik.
"Ketika saya bertanya kepada polis , mereka mengatakan bahwa jika ada kaitannya dengan penetrasi antara lelaki dengan lelaki, itu gay," kata dia.

"Jika itu terjadi pada seorang perempuan, kita mendengarkan mereka, merawat mereka, peduli dan menyimak mereka -membiarkan mereka bersuara."
"Tapi apa yang terjadi kalau korbannya adalah lelaki?"
Sumber:Kompas.com 

No comments:

Post a Comment