Thursday, July 3, 2014

"Bayi saya cacat kerana saya melahirkan dalam keadaan Kaki Dirantai"

  3 Julai 2014 
 
AP Meriam Ibrahim dibebaskan dari penjara pada 23 Jun 2014 tetapi kemudian ditahan kembali ketika mencuba untuk meninggalkan Sudan menuju AS.

KHARTOUM, Seorang wanita Sudan yang melahirkan anak di sebuah penjara di Khartoum dengan kakinya masih dirantai mengatakan, bayi perempuannya jadi cacat akibat perlakuan yang dialaminya.

Wanita itu, Meriam Ibrahim (27 tahun), dijatuhkan hukuman  gantung kerana murtad pada tanggal 15 Mei, ketika dia sedang sarat mengandung anaknya yang kedua. Kurang dari dua minggu kemudian, dia melahirkan Maya, tetapi pihak berkuasa penjara menolak untuk melepas rantai di kakinya  ketika proses kelahiran itu terjadi.

"Saya melahirkan dalam kondisi dirantai," katanya seperti dikutip The Telegraph. Itu merupakan penjelasan pertamanya tentang kelahiran pada tanggal 27 Mei itu. "(Tangan) tidak digari, tetapi kaki saya dirantai. Saya tidak boleh membuka kaki saya sehingga sejumlah wanita  terpa menurunkan saya dari meja. Saya tidak berbaring di atas meja."

Ketika ditanya, apakah dia takut melahirkan dalam kondisi seperti itu boleh membahayakan bayinya. Ia berkata, "Sesuatu telah terjadi pada bayi itu."

Dia menjelaskan, puterinya telah menjadi cacat secara fisikal, tetapi tingkat kecacatan tersebut belum menjadi jelas sampai dia menjadi lebih besar. "Saya tidak tahu apakah di masa depan dia akan memerlukan bantuan untuk berjalan atau tidak," katanya.

wanita pengusaha itu dan keluarganya masih dibelit persoalan undang-undang. Ia masih di Sudan dan menunggu izin untuk pergi dari negara itu.

Derita Ibrahim dimulai sebelum |Krismas, ketika dia dituduh pihak berkuasa telah "meninggalkan" Islam. Sudan telah memberlakukan hukum syariah sejak tahun 1983, dan murtad merupakan jenayah yang diancam dengan hukuman mati.

Namun, dia mengatakan kepada mahkamah bahawa dia dibesarkan sebagai seorang Kristian, oleh ibunya yang seorang Kristian Etiopia, sejak ayahnya yang Muslim meninggalkan keluarga ketika dia berusia enam tahun. Hari Selasa lalu, dia mengulangi pengakuan itu. "Saya dari dulu orang Kristian," katanya kepada CNN. "Saya tidak pernah menjadi Muslim."

Ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika mendengar hukuman mati itu. Ia berkata, "Saya hanya memikirkan anak-anak saya dan bagaimana saya akan melahirkan. Saya benar-benar takut melahirkan di penjara."

Ketika dia berada di penjara wanita di Omdurman, ia mengatakan, banduan lain mengejeknya. Ia juga mengaku diancam sesama banduan.

Ia mengatakan, sejumlah pakar agama dikirim ke penjara untuk membuatnya boleh meninggalkan keyakinan agamanya.

"Sejumlah wanita di penjara mengatakan berbagai macam hal seperti, 'Jangan makan makanan orang kafir.' Berbagai macam pembicaraan dan ejekan. Bahkan para petugas penjara ikut-ikutan."

Suaminya, Daniel Wani, yang memiliki kewarganegaraan AS dan Sudan Selatan, sedang mencuba untuk mendapatkan visa buat isterinya agar dapat melakukan perjalanan ke AS.

 Meriam  dibebaskan dari penjara pada 23 Jun , hanya untuk ditahan lagi ketika mencuba untuk meninggalkan Sudan menuju AS. Pihak keselamatan, kata dia, yang bertindak atas maklumat dari agen perjalanan, mengatakan bahawa dia pergi dengan dokumen palsu kerana dokumen-dokumen itu dikeluarkan oleh Sudan Selatan. Keluarga itu kemudian ditahan di balai polis  selama dua hari sebelum dilepas ke kedutaan AS.

"Sejujurnya, saya benar-benar sedih," katanya. "Saya meninggalkan penjara untuk menyatukan anak-anak saya dan menetap. Saya menemui diri saya di penjara hari ini dan besok dan sekarang ada protes terhadap saya di jalanan. Bagaimana boleh dokumen saya salah? Dokumen saya berasal dari Kedutaan. Itu 100 peratus benar dan telah disetujui duta besar Sudan Selatan dan Duta Besar Amerika. Hak saya untuk menggunakan berkas-berkas itu dan memiliki pasport Sudan Selatan kerana suami saya adalah warga negara Sudan Selatan. Ia memiliki pasport Amerika dan pasport Sudan Selatan. Saya tidak pernah memalsukan dokumen."

Peguam Meriam Ibrahim telah mengajukan permohonan kepada pendakwa daerah untuk membatalkan kes pemalsuan itu sehingga keluarga itu akhirnya dapat meninggalkan Sudan dengan  elamat. Namun, hal itu sangat melelahkan bagi Meriam Ibrahim. Ia mengatakan, dirinya terlalu lelah untuk berfikir tentang langkah berikutnya.

"Saya bahkan tidak boleh memutuskan apa yang harus saya lakukan sekarang. Saya ingin pergi, tetapi pada saat yang sama saya tidak ingin pergi. Tetapi, keadaan saya sekarang menuntut bahawa saya harus pergi."
KOMPAS.COM
Editor : Egidius Patnistik
Sumber: The Telegraph

No comments:

Post a Comment